Indonesia Darurat Tambang

sacsacscsa

Jakarta, 21 Oktober 2013 – Masalah perizinan tambang menjadi perhatian serius Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Ali Masykur Musa. Dia mengingatkan, eksplorasi tambang yang berlebihan bisa merugikan generasi masa depan.

“Jika perizinan tambang diobral, reklamasi tidak dilakukan, dan energi baru terbarukan tidak dikembangkan, sangat mungkin beberapa tahun ke depan Indonesia bisa gelap-gulita,” tegas Ali Masykur Musa, saat presentasi   International Seminar and Workshop on Wetlands Environmental Management yang diadakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Lambung Amangkurat Banjarmasin, Jumat (20/9/2013).

Ali Masykur Musa mengatakan, seharusnya rakyat Indonesia adalah penikmat utama kekayaan alam, bukan warga negara lain. Hal ini sungguh beralasan karena perusahaan asing pemegang izin pertambangan pada migas mencapai 70 persen, sedangkan dalam pertambangan batubara, bauksit, nikel, dan timah, mencapai 75 persen. Bahkan, untuk pertambangan tembaga dan emas mencapai 85 persen.

“Ironisnya, Pertamina sebagai BUMN migas kita hanya menguasai 17 persen produksi dan cadangan migas nasional. Sementara, 13 persen sisanya adalah share perusahaan swasta nasional. Sangat menyedihkan jika hasil tambang di Indonesia dinikmati negara lain,” ujar Cak Ali, panggilan akrab pria yang ikut menjadi calon presiden dalam Konvensi Partai Demokrat.

Cak Ali menambahkan, permasalahan tambang bukan hanya pada penguasaan asing, tetapi juga pada masalah reklamasi pascatambang. Audit tambang batubara di Kalimantan (2010 dan 2011) menunjukkan, dari 247 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara di Kaltim dan Kalsel, 64 perusahaan tidak membuat rencana reklamasi pascatambang. Adapun 73 perusahaan tak setor dana jaminan reklamasi.

Untuk itu, menurutnya, Pemerintah harus memperketat perizinan tambang untuk menghindari eksplorasi berlebihan yang bisa merugikan generasi masa depan. “Indonesia saat ini dalam kondisi darurat tambang. Jika perizinan tambang diobral, reklamasi tidak dilakukan, dan energi baru terbarukan tidak dikembangkan sangat mungkin beberapa tahun ke depan Indonesia bisa gelap-gulita,” katanya.

Menurutnya, kondisi darurat tambang tersebut sungguh beralasan, karena perusahaan asing pemegang izin pertambangan pada migas mencapai 70 persen.  Sedangkan pada pertambangan batu bara, bauksit, nikel, dan timah, mencapai 75 persen, sementara pertambangan tembaga dan emas mencapai 85 persen.

Ali yang juga peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat ini menambahkan, permasalahan tambang bukan hanya pada penguasaan asing, tetapi juga pada masalah reklamasi pasca tambang. “Selain itu, dari areal bekas penambangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas 100.880 hektar, baru direklamasi 4.730 hektar. Ini sungguh menyedihkan,” katanya.

QH.